PPATK Endus Transaksi Mencurigakan di Riau

Jakarta (Segmennews.com)- Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan merilis lima provinsi yang terbanyak melakukan transaksi mencurigakan terindikasi korupsi pada 2012. Kelima provinsi tersebut adalah DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sumatera Utara, serta Riau.

Dalam rilis PPATK, disebutkan bahwa priode pertama 2012 atau lima bulan pertama, lembaga pengawas keuangan itu menerima laporan transaksi mencurigakan yang terindikasi korupsi dari penyedia jasa keuangan paling banyak pada delapan wilayah di DKI Jakarta, Kalimantan Timur, dan Jawa Timur. Sebanyak 95 persen pelakunya perorangan dan sisanya 4 persen adalah perusahaan.

“Instansi pelaku perorangan itu didominasi dari pemerintah daerah 40,7 persen,” ujar M Yusuf, Kepala PPATK, saat menggelar jumpa pers kinerja akhir tahun lembaganya, Rabu, (2/1).

Para pelaku perorangan itu, ujar Yusuf, 19,2 persen berasal dari staf, sebanyak 9,08 persen berprofensi sebagai bendahara, dan 7,5 persen adalah kepala daerahnya. “Modus terbesar adalah penggelapan dalam jabatan yakni 45,4 persen.”

Adapun priode ke dua pada 2012 masih tetap dipegang oleh DKI Jakarta dengan 58,6 persen, kemudian disusul Sumatera Utara dengan 10,7 persen laporan, serta Riau 7,9 persen laporan transaksi mencurigakan.

Kelima provinsi ini, kata Yusuf, didominasi terindikasi korupsi pada sektor pendidikan. Di bidang anggara, Jakarta peringkat pertama dengan jumlah laporan transaksi mencurigakan mencapai 33,3 persen. “Sumber anggaran yang disalahgunakan paling tinggi berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK), APBD, Hibah maupun BOS.”

Berbeda pada priode pertama 2012, lanjut Yusuf, priode kedua ini transaksi mencurigakan terindikasi korupsi terbanyak dilakukan oleh kepala sekolah sebesar 20 persen, kontraktor 11 persen, dosen serta kepala dinas sebesar 8 persen. Adapun modusnya yakni penyalahgunaan kewenangan yang menguntungkan diri sendiri 27 persen, penggelapan uang 11 persen, tidak menyelesaikan proyek 10 persen, serta proyek fiktif dan pengadaan tanpa tender 9 dan 7 persen.

“Faktor penyebabnya adalah kewenangan yang besar, kurangnya pengawasan, serta kurang transparan,” ujar Yusuf semari mengatakan bahwa seluruh transaksi mencurigakan yang berindikasi korupsi ini telah dilaporkan ke penegak hukum. (tpc/snc)