Kabut Asap, Bukti Ketidakseriusan Pemerintah

Asap Riau
Asap Riau

PROVINSI Riau adalah salah satu contoh ketidak seriusan pemerintah mengelola alam Indonesia. Peran pemerintah yang hanya periodik saja tidak akan dapat menjaga kelestarian hutan Indonesia.

Dua perusahaan bubur kertas terbesar di Indonesia, bahkan salah satunya terbesar kedua di Asia Pasifik tidak mampu mengurangi polusi asap di Provinsi Riau.

Pemerintah daerah hanya dapat menyalahkan para pelaku, padahal kejadian luar biasa tersebut tidak dapat terjadi secara tiba-tiba.

Masyarakat sangat mempertanyakan sikap tegas pemerintah untuk mengatasi bencana asap tersebut. Praktek perambahan hutan dan pembukaan lahan tidak akan terjadi, jika pemerintah tegas mengawasi pengelolaan hutan di Riau.

Hutan di Provinsi Riau bukanlah lahan tak bertuan, pemerintah sebagai pemegang hak kepemilikan tentu dapat diduga berperan menciptakan bencana asap Riau. Jika saja praktek jual beli lahan dilakukan secara terkendali dan sesuai prosedur hukum, tentu kebakaran lahan dapat di antisipasi.

Pemerintah juga turut bertanggung jawab atas rendahnya kesadaran masyarakat terhadap kelestarian hutan, karena bisa jadi dari pemerintah sendiri telah melakukan praktek-praktek pemberian konsesi hutan tanpa aturan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Akhirnya masyarakat turut serta mengambil kesempatan merambah hutan untuk keperluan pembukaan lahan-lahan baru.

Asap yang dihirup masyarakat Riau saat ini tidak muncul tanpa sebab. Masyarakat tentu berharap agar dampak dari tata kelola hutan dan lahan yang tidak beres selama ini dapat diperbaiki.

5,5 juta lebih masyarakat Riau dan jutaan masyarakat yang berada di perbatasan Riau mengharapkan sikap tegas pemerintah untuk mencegah bencana asap di kemudian hari.

Pemidanaan tidak serta merta akan menghentikan asap Riau, langkah preventif adalah paling utama dengan meninjau kembali izin dan pemanfaatan hutan dan lahan di Provinsi Riau, termasuk yang dikelola oleh korporasi, baik untuk industri bubur kertas maupun perkebunan kelapa sawit.***

Oleh: Iman Munandar, SH
Kepala Divisi Hukum Indonesia Public Institute