Kisah Caleg Gagal, Terbelit Utang dan Mau Jual Ginjal

Ket foto: Chandra Saputra caleg Partai Demokrat yang ingin jual ginjal.(Fajar Ginanjar Mukti/ VIVAnews)
Ket foto: Chandra Saputra caleg Partai Demokrat yang ingin jual ginjal.(Fajar Ginanjar Mukti/ VIVAnews)

SegmenNews.com– Chandra Saputra masih berjalan tanpa arah. Berhari-hari dia keliling Jakarta, tapi belum juga ditemukan orang yang mau membeli ginjalnya. Ini upaya terakhirnya mendapatkan uang. Hidupnya terpuruk setelah niatnya jadi pejuang hak-hak rakyat dengan menjadi caleg kandas. Kini Chandra harus menanggung utang yang tidak sedikit.

Modal kampanyenya untuk maju sebagai caleg dari Partai Demokrat dengan nomor urut 7 dari Dapil IV Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, didapatnya dari meminjam. Dana sebesar Rp600 juta habis untuk kampanye. Sebagian besar berupa pinjaman dari berbagai pihak, termasuk rentenir.

“Harus bagaimana lagi. Saya sudah tak punya jalan keluar lagi. Waktunya sudah mepet. Kalau telat bayar ke rentenir saya bisa terjerat kasus hukum. Jual ginjal yang terpikirkan,” ujarnya saat ditemui VIVAnews di Masjid Sunda Kelapa, Jakarta Pusat, Rabu sore, 14 Mei 2014.

Chandra bertekad keliling Jakarta untuk mencari pembeli ginjal. Sehari-hari dia terpaksa tidur di Masjid Sunda Kelapa dengan puluhan perantau lain yang tidak memiliki tempat tinggal di Jakarta. Berbekal dari iklan yang membutuhkan ginjal, Chandra mendatangi alamat dan menghubungi nomor telpon yang tertera pada iklan itu. Tapi hasilnya nihil, banyak alamat yang tidak jelas dan nomor telepon yang tidak bisa dihubungi.
“Tambah bingung, saya baru tahu kalau hukum di Indonesia tidak memperbolehkan rumah sakit mengoperasi pasien untuk dijual ginjalnya,” ujarnya.

Pria kelahiran Blora, 26 tahun yang lalu ini sebelum terjun ke dunia politik adalah tenaga pemasaran di sebuah bank BUMN. Dia lulus D3 dari sekolah manajemen di Semarang, Jawa Tengah. Sempat satu tahun kerja, Chandra memilih berhenti dan mencoba peruntungan di politik. “Tahun 2011 saya memutuskan untuk terjun ke dunia politik,” katanya.

Dunia politik memang disenanginya, dan dengan berorganisasi dia ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat. Berbagai organisasi dia ikuti, mulai dari ormawa sampai organisasi suporter sepakbola. Chandra pilih Partai Demokrat sebagai langkah awal untuk masuk dunia politik. Dengan harapan bisa memuluskan cita-citanya, dia pilih partai yang sedang berkuasa. Alasannya, sosok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa menjadi magnet besar untuk meraih simpatik masyarakat.

“Sudah 3 tahun jadi kader Partai Demokrat. Saya pilih Demokrat dulu karena saya kagum sama Pak SBY. Pak SBY idola saya,” ujarnya.

Tahun 2013, Chandra semakin memantapkan langkahnya di dunia politik. Dengan berbekal kepercayaan diri yang didapatnya dari dukungan berbagai tokoh masyarakat, ia mencalonkan diri untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah.

“Tahun 2013 saya sudah menjadi fasilitator untuk beberapa program pemerintah. Masyarakat, tokoh-tokoh juga memberikan dorongannya kepada saya. Makanya saya beranikan diri untuk nyaleg,” katanya.

Chandra menuturkan, ia tidak main-main maju sebagai caleg. Ia mengaku mulai melakukan sosialisasi jauh-jauh hari sebelum pemilu dimulai. Lebih dari tujuh bulan dia selalu keliling untuk sosialisasi ke masyarakat. Hampir setiap minggu sosialisasi.

“Saat itu bahkan belum ada calon lain yang bergerak. Saya mengunjungi desa-desa, kelurahan, ke rumah penduduk. Tujuannya agar semakin banyak rakyat yang mengenali saya,” katanya.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Chandra terpental. Perolehan suaranya jauh dari cukup untuk mengantarkannya jadi anggota dewan. Dia hanya memperoleh 1.600 suara dari target awal sebesar 7.000 suara.

“Ternyata tak sampai untuk meraih kursi DPRD. Demokrat hancur di sana (di Kabupaten Pekalongan),” ujarnya.

Uang Rp600 juta sudah habis untuk biaya kampanye. Guna menutupi sebagian utang, uang Rp180 juta dari hasil menjual rumah orangtuanya dibayarkan untuk utang yang dipinjam dari rekan-rekannya.

“Transport sosialisasi ke desa-desa, pencetakan alat peraga. Uang dapat dari hasil pinjam, ada sedikit dari tim sukses, dari rentenir, dari politisi senior. Utang saya sekarang Rp420 juta,” katanya.

Lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap Partai Demokrat, karena isu korupsi yang melanda partai itu, diakui Chandra ikut mempengaruhi elektabilitas dirinya sebagai kader dari partai yang sedang berkuasa itu.

“Di kabupaten saya, Partai Demokrat hanya mampu meraih posisi ke-8. Yang menang di sana PKB dan PDIP. Isu korupsi, dampaknya sampai ke yang paling bawah. Ini di luar dugaan,” kata Chandra.

Namun demikian Chandra tetap memberikan apresiasinya kepada Partai Demokrat. Ia berterima kasih kepada partai itu yang telah menjadi tempat awal bagi dirinya untuk mencicipi dunia politik. Saat ini yang ada di pikiran Chandra hanyalah bagaimana caranya agar dia bisa melunasi utangnya yang mencapai Rp420 juta itu dan kemudian bisa memulai kembali hidupnya secara normal.
Chandra hampir putus asa karena satu-satunya jalan bagi dirinya untuk mendapatkan uang sebanyak itu, yaitu menjual ginjal. Dia kemudian menemui Menteri BUMN RI, Dahlan Iskan. Karena ingat pada tahun 2012, Dahlan pernah melakukan cangkok hati di sebuah rumah sakit di Tiongkok. Dengan harapan besar, Chandra kemudian mancari Dahlan Iskan. Dia ingin memastikan apakah ada jalan untuk menjual ginjal di Tiongkok.
Chandra Saputra caleg Partai Demokrat yang ingin jual ginjal

Selain itu, modal Rp3 juta untuk hidup di Jakarta juga sudah habis. Dengan harapan mendapat pertolongan tuhan, Chandra membagi-bagikan sebagian uangnya untuk beberapa orang yang ikut menginap di Masjid Sunda Kelapa.

“Saya ingat bukunya Pak Ustadz Yusuf Mansyur. Kalau sedekah katanya tidak akan ada rezeki yang hilang,” katanya.

Memasuki hari ke-9 di Jakarta, uang bekal Chandra menipis. Dari Rp3 juta hanya tersisa Rp20 ribu, dan untuk makan dia terpaksa menjual pakaiannya. Dari dua tas penuh, sekarang tinggal tujuh helai saja.

Keputusan Chandra untuk bersedekah ternyata tidak sia-sia. Niatannya untuk mengunjungi Dahlan Iskan untuk sekadar meminta informasi ternyata malah menjadi awal mula solusi untuk segala masalah hidupnya.

“Alhamdullilah dari sedekah, saya bisa dibantu Pak Dahlan,” katanya. Rabu subuh, 14 Mei 2014, Chandra mengunjungi rumah dinas Dahlan Iskan di kawasan Widya Chandra, Jakarta Selatan. Ia menjumpai menteri BUMN itu saat sedang melakukan rutinitas olahraga lari pagi.

“Setelah salat Subuh, saya langsung ke rumah Pak Dahlan. Alhamdulillah ketemu beliau sedang lari pagi,” katanya.

Chandra tidak ingin mengemis dan dikasihani. Dia hanya ingin tanya di mana tempat menjual ginjal di Tiongkok. Tapi Dahlan justru terkejut, apalagi karena Chandra ingin menjual ginjal akibat utangnya menumpuk setelah gagal jadi caleg. Dahlan bersedia membantu Chandra tanpa melihat statusnya sebagai caleg Partai Demokrat. Dahlan tidak rela Chandra harus menggadaikan ginjalnya hanya demi melunasi utang.
Dahlan kemudian mengajak Chandra berdiskusi. Ia mencoba memetakan masalah dan menjabarkan utang-utang yang dimiliki Chandra. Dahlan bahkan tak menghadiri rapat pimpinan (rapim) di Kementerian BUMN pada pukul 07.00 WIB.

Selesai berdiskusi selama kurang lebih 3 jam, masalah pun terpetakan. Dari diskusi itu diketahui bahwa utang Chandra bisa dikelompokkan ke dalam 3 kategori besar. Utang Rp420 juta terdiri dari utang kepada rentenir Rp85 juta, pinjaman politisi Rp210 juta, modal dari tim sukses Rp125 juta.

“Yang terancam diperkarakan oleh hukum bila tidak dibayar minggu depan itu yang pinjaman dari rentenir. Pak Dahlan bersedia membantu melunasi dulu utang yang itu,” katanya.

Chandra lebih tenang. Ia menanti hari Senin, tanggal 19 Mei 2014, untuk kembali pulang ke Pekalongan dengan membawa pertolongan yang Dahlan berikan. Hingga Senin tiba, ia mengaku akan tetap tinggal di Masjid Sunda Kelapa untuk terus beribadah kepada Allah SWT.

Ia pun berencana menyempatkan diri mengunjungi beberapa rekannya yang berada di Jakarta. Usai pengalaman pahitnya ini, Chandra mengaku ia kapok terjun ke dunia politik. Chandra menuturkan tidak lagi punya ambisi untuk kembali mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Politik telah memperlakukannya sangat kejam.

“Setelah pencalegan ini saya malah banyak kehilangan teman dan saudara. Ada yang kawan jadi lawan, ada yang malu tidak mau dihubungi karena telah gagal meloloskan saya. Putus tali silaturahmi saya. Harta habis,” ujarnya.***

 

Sumber: © VIVA.co.id